Paradigma lama, selesaikan kuliah terus cari kerja. Paradigma anyar, kerja dulu baru kuliah. Dua paradigma tadi tidak berlaku di setiap lingkungan masyarakat yang ada (baca:daerah atau kondisi tertentu). Lulus sekolah (SMA)/SMK), orientasinya melanjutkan kuliah (dulu/sekarang) atau cari kerja dulu (sekarang). Ilustrasi sederhana dalam satu keluarga ada 3 bersaudara, yang sulung baru lulus SMA, anak nomer dua masuk SMP dan anak terakhir masih duduk dibangku SD. Anggap keluarga ini kondisi ekonominya menengah kebawah, sebagai orang tua lebih mungkin akan mengutamakan membiayai anak nomer dua dan terakhir. Anak sulung mungkin bisa break dulu, atau mencari kerja.
Melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi (kuliah) ada sebuah pilihan. Pilihan memantapkan pondasi ilmu dan menambah kepercayaan diri jika nanti terjun ke dunia kerja. Kenyataannya persaingan makin terbuka dan kadang tidak berjalan seiring dengan mutu pendidikan, sehingga setelah lulus kualitasnya tidak bisa diadu dengan sengitnya persaingan. Ini tantangan bagi para pengelola pendidikan tinggi, bagaimana menghasilkan lulusan kualitas tinggi. Kesenjangan mutu pendidikan antara institusi berplat merah dengan institusi pendidikan partikelir (swasta) makin lebar. Pendidikan bermutu selalu identik dengan biaya kuliah yang mahal, sehingga hanya orang yang mampu yang bisa merasakankannya. Sedangkan institusi pendidikan swasta, terutama perguruan kecil atau kampus ruko, mereka berjalan seadanya, lebih sebagai penampung luberan dari kampus yang lebih besar dan biasanya biaya kuliahnya lebih terjangkau.
Tapi bagi sebagian orang berkuliah dikampus ruko lebih menguntungkan, bukan karena biaya terjangkau tapi lebih kepada fleksibelitas waktu. Rata-rata mereka bisa kuliah karena sudah bekerja, bukan bisa bekerja karena sudah lulus kuliah. Dilevel ini terjadi pergeseran motivasi dalam berkuliah. Mereka berkuliah karena sebuah tuntutan bukan karena ilmu sehingga pencapaian prestasi menjadi prioritas nomer sekian. Setelah lulus, apakah mereka akan dengan suka rela berganti pekerjaan (dari sebelumnya, yang sangat mungkin tidak berhubungan dengan jurusan waktu kuliah) agar sesuai dengan ilmu yang didapat di bangku kuliah?. Ini pertanyaan dilematis.
Persaingan kampus (perguruan tinggi menengah kebawah) juga tak kalah menarik. Mereka menawarkan kemudahan untuk lulus dengan biasa terjangkau dengan tampilan gedung yang megah. Dan ironisnya mereka memilih tempat kuliah karena faktor nama plus kemegahan gedung terutama bagi mereka yang baru lulus SMA/SMK yang terlempar dari ujian saringan masuk kampus plat merah. Itu sah-sah saja. Tapi apakah hal ini berbanding lurus dengan kualitas lulusan?. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi (Februari 2009), pengangguran lulusan SMA sebanyak 1.337.586 sedangkan lulusan diploma (D3) mencapai 486.399. Ini lebih kecil dibanding sarjana yang menganggur yang mencapai 626.621. Kondisi ini akan makin bertambah karena setiap tahun lulusan diploma dan sarjana bertambah dengan besaran hampir sama dengan data diatas serta diperparah dengan terbatasnya lowongan kerja yang tersedia. Tugas berat pengelola perguruan tinggi adalah menciptakan lulusan yang mempunyai jiwa wirausaha, sehingga mereka bukan pencari kerja tapi pencipta lapangan kerja.
Ada sebuah statement begini “apapun jurusan kamu kuliah, setelah lulus kamu bisa apa?”