Sarjana Komputer vs Sarjana CopyPaste

Saya termasuk orang yang suka memberikan tugas kuliah kepada mahasiswa dengan metode yang relatif mudah dikerjakan, dalam artian waktu pengerjaannya lebih luas dan disampaikan secara online daripada dalam bentuk hard-copy (cetakan). Disini mahasiswa diwajibkan melek digital plus internet. Harapan saya adalah isi tugas akan lebih bagus, analisanya luas dan mendalam karena waktu pengerjaan lebih leluasa serta kemudahan mencari referensinya.

Tapi metode ini menjadi blunder atau malah menjadi bumerang buat saya, karena mereka lebih leluasa mengambil “paksa” tulisan orang lain yang notabene belum tentu orang itu punya kompetensi dengan masalah tersebut. Mengambil “paksa” ini  karena mereka mengambil dengan meng-copy dan paste bulat-bulat tanpa di-edit terlebih dahulu. Apakah tindakan ini dilarang ?, tentu tidak tapi kurang produktif dan menyinggung hak cipta. Ini adalah bentuk konskuensi dari era digital. Digital memberikan hasil yang hampir 100% sama dengan aslinya.

Tentunya mahasiswa menjawab atau mengerjakan tugas dengan mengambil referensi/sumber lain sangat disarankan. Sumber tersebut menjadi bahan kajian untuk makalah sehingga akan menghasilkan tugas dengan konten yang baik. Melakukan tindakan copy-paste tentunya didasari oleh alasan-alasan tertentu. Kepraktisan itu alasan utama melakukan copy-paste. Kepraktisan mengandung beberapa elemen. Salah satunya adalah ketidakmampuan mereka untuk menterjemahkan tugas dengan baik serta tidak tersedia waktu untuk mengerjakan atau malah tugas ini menjadi beban bukan menjadi bagian dari tahapan untuk memperoleh ilmu, ujung-ujungnya yang penting membuat.

Jika semua tugas atau bentuk evaluasi perkuliahan dikerjakan dengan cara seperti itu, maka tidak akan menghasilkan sarjana komputer (S.Kom) yang akan memberikan efek membanggakan disaat dicantumkan dalam undangan pernikahan mereka tapi sarjana copy-paster (S.CP). Pada domain perguruan tinggi komputer, seorang mahasiswa dituntut menguasai bahasa pemrograman dan diakhir studi harus membuat sebuah sistem (program aplikasi). Pertanyaannya adalah apa mempelajari program juga harus copy-paste?. Jika ya berarti akan banyak lulusan S.CP dari S.Kom. Kemampuan coding (membuat program) mahasiswa ilmu komputer di Indonesia rendah, karena terkena sindrom malas dan cenderung menganggap enteng masalah ini. Kalau tidak bisa membuat program sendiri, cukup beli saja dari orang dengan harga yang cukup murah. Sangat Indonesia sekali. Berdasarkan pengalaman saya mengetahui mahasiswa membuat program sendiri dan membeli program cukup mudah. Pertanyaan yang sering saya tanyakan adalah “Kamu beli berapa program ini ?”. Dengan muka merah (karena ketahuan) mereka menyebutkan nominal tertentu. Ironis memang.

Menjadi sarjana komputer ternyata sangat berbeda dengan sarjana-sarjana bidang lain (dengan tidak mengesampingkan bidang ilmu lain). Jika berkuliah di ilmu komputer penekanan kemampuan berpikir logis sangat diutamakan. Berdasarkan pengalaman saya, mahasiswa ilmu komputer yang sebenarnya sudah dapat dilihat mulai dari semester kedua. Pada semester ini kemauan dan kemampuan serta cara berpikir mahasiswa sudah terlihat. Akan semakin jelas jika sudah menginjak semester ketiga/keempat.

Tantangannya adalah sadarkah mereka apa yang harus dilakukan sebagai calon sarjana komputer atau akan menyerah dengan menyandang gelar sarjana copy-paste?. Semua kembali kepada masing-masing mahasiswa dengan motivasi kenapa mereka kuliah. Memang ingin mendalami ilmu komputer atau hanya sekedarnya saja demi sebuah kedudukan dan status sosial.

Yang terpenting adalah jangan sia-siakan waktu yang ada karena waktu tidak dapat diulang, tapi kalau materi bisa dicari kapanpun.

from antokoe.com